resensi buku

 

 

Judul Buku                   : Eliana

Penulis                         : Tere Liye

Penerbit                      : Republika Penerbit

Tahun Terbit               : Agustus 2011

Jumlah Halaman         : iv+ 519 Halaman

Ukuran Kertas             : 20,5 x 13,5 cm

Desain Cover               : Mano Wolfie

Layout                         : Nr Alfian

Editor                          : Andriyati

Percetakan                  : PT Gramedia, Jakarta

 

Novel ini berkisah seorang Eliana, anak sulung mamak. Dalam novel settingnya digambarkan di lembah bukit Provinsi Sumatra Selatan, sebuah desa yang dikelilingi oleh hutan dan sungai.

Di novel ini menggambarkan rasa ingin tahu, pembelajar, kenakalan, petualangan hebat, ketika persahabatan, pengorbanan.

Kisahnya tentang keluarga sederhana, Pak Syahdan dan Mak Nur yang membesarkan   anak-anaknya dengan disiplin yang tinggi, tegas, akhlak dan memberikan teladan dari perbuatannya.

Empat anak-anak mamak ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Eliana yang pemberani,karena hal tersebut membuat menarik.

Eliana yang selalu dijuluki sebagai anak pemberani sejak lahir. Eliana memang benar-benar tumbuh sebagai anak yang pemberani. Keberaniannya sudah muncul sejak awal-awal kisah, dimana dia berani membentak ‘para petinggi’ di sebuah forum resmi, “JANGAN HINA BAPAKKU!!”. Sifat inilah yang selanjutnya menggiring dia dan anggota Buntal yang lain dalam misi menghalangi para pengeruk pasir. Dengan gaya pengintai mereka menyusun rencana-rencana dari mulai mengempesi ban, hingga tindakan Marhotap melempar kantong-kantong bensin ke truk pengeruk pasir.

Di sekolah ia berani melawan teman laki-lakinya yang bernama Anton. Berantam dalam artian Eliana berani bersaing dengan Anton secara jujur, diantaranya bermain bola Voli, gobak sodor, lomba lari 10 putaran mengelilingi lapangan, sampai ia mengumandangkan adzan di mushola yang berujung pada pertemuan seluruh warga kampung di mushola.

Selain itu, keberaniannya juga terlihat pada saat ia merasa tidak suka pada saat ada penambang pasir di desanya yang sangat mengganggu keseimbangan alam di desanya, mulai dari warga yang kesulitan mencari kucur di sungai, kesulitan mencari batu hias di dasar lubuk larangan, sampai warga yang harus kerepotan untuk mengunjungi kebun jagung miliknya. Kemudian dia bersama empat temannya mendirikan genk “Empat Buntal” untuk melakukan perlawanan terhadap penambang tersebut. Ditengah-tengah perlawanan yang mereka lakukan, ia harus kehilangan salah satu anggota genk.

Selain menceritakan tentang keberanian Eliana, kisah ini juga menceritakan tentang Eliana yang membenci statusnya menjadi anak Sulung. Ia membenci mamak yang mengharuskan Eliana menjaga dan bertanggung jawab terhadap adik-adiknya. Sampai akhirnya ia kabur dari rumah.

Membaca kondisi sekolah yang bobrok tak jarang membuat kita teringat dengan cerita Laskar Pelangi, walaupun konteks ceritanya sangat lah berbeda. Hingga kemudian, cerita pun tidak hanya mengkritisi masalah lingkungan dan sistem pemerintahan yang bejat, tapi juga bentuk pendidikan di daerah yang kerap tidak memadai dan disisihkan. Carut-marut kehidupan kampungnya inilah yang kemudian menghantarkan Eliana pada sebuah cita-cita sebagai pembela kebenaran.

Dengan segala masalah pendidikan, lingkungan, dan pemerintahan yang dihaturkan dalam buku Eliana ini, tidak lantas membuat plot cerita menjadi berat. Penulis berhasil menyampaikan kritikannya tanpa melupakan fokus dan tokoh utama dari cerita yaitu tentang anak-anak bernama Eliana. Konflik keluarga pun menjadi salah satu dilema dalam diri Eliana, ketika dia mulai mempertanyakan kasih sayang Mamak dan statusnya sebagai anak sulung. Ramuan cerita pun tidak hanya berkesan seru, menegangkan, dan sinis, tetapi juga ceria, lucu, sekaligus mengharukan.

Leave a comment